ATAS NAMA KEADILAN
Juli 1776 sebuah gagasan dikemukakan oleh Thomas Jefferson “when
injustice becomes law, resistance becomes duty”. Gagasan ini kemudian
menjadi sangat relevan dengan kondisi penegakan hukum kita saat ini yang
semakin hari semakin tak menentukan arah. Hampir setiap hari dalam berbagai
acara maupun tajuk di media kita disuguhkan berbagai macam kasus-kasus hukum,
mulai dari kasus pencurian kayu jati milik Perhutani oleh seorang nenek ataupun
pencurian kedelai oleh seorang kakek yang dianggap “sangat luar biasa” sampai
kasus hukum yang saat ini dianggap “biasa-biasa saja” yaitu korupsi. Saat ini
sebagai masyarakat awam pun kita tidak bisa lagi pura-pura menutup mata dan
merasa apatis melihat apa yang terjadi di negeri ini. Upaya hukum dimanfaatkan
untuk menyelamatkan diri sendiri dan kepentingan kelompok tertentu.
Misalnya saja tentang Praperadilan (diatur dalam UU No.8/1981
tentang KUHAP) yang berfungsi untuk mencari keadilan. Namun ironisnya
praperadilan justru disalahtafsirkan. Mereka yang berstatus tersangka kemudian
dengan lantang “berteriak” merasa terjadi ketidakadilan dan menganggap dirinya
diperlakukan secara tidak adil. Saya jadi teringat sebuah gambar meme
comic yang mendeskripsikan tentang status tersangka seorang pejabat
Negara : di Korea (tersangka, mengundurkan diri); di Jepang (tersangka, hara
kiri/bunuh diri); di Indonesia (tersangka, berteriak merasa difitnah atau
korban politik). Teriakan itu kemudian mereka wujudkan melalui permohonan
praperadilan yang keputusannya di tangan seorang hakim tunggal. Celakanya ada
pula hakim yang mengabulkan praperadilan dengan dalil penetapan status
tersangka adalah objek praperadilan. Padahal pada kasus yang serupa ada juga
hakim yang berseberangan dengan menolak praperadilan. Bukan menyalahkan
praperadilan tetapi bukankah praperadilan seharusnya digunakan oleh orang-orang
yang benar-benar tidak menerima keadilan (semua mengaku serupa).
Yang justru semakin ironis adalah bahwa jelas dalam pasal 77 UU
No.8/1981 dijelaskan bahwa “penetapan tersangka bukan objek praperadilan.
Pengadilan Negeri hanya berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.
Akan tetapi bukan orang Indonesia namanya kalau tidak pintar berkelit. Hakim
yang mengabulkan praperadilan berdalil bahwa keputusannya menggunakan
penafsiran yang diperluas dari KUHAP, atau dengan kata lain hakim tersebut
beralasan bahwa dirinya melakukan penemuan hukum.
Mungkin dia lupa bahwa yang namanya KUHAP itu adalah tentang tata
cara dan prosedur, dengan kata lain KUHAP tidak boleh ditafsirkan. Lalu penulis
kemudian meminjam pertanyaan salah satu media online kenamaan Indonesia : “APA
SEBENARNYA PRAPERADILAN? MENCARI KEADILAN ATAU “MENIKAM” PROSES MENUJU
KEADILAN???
Posting Komentar untuk "Opini : Atas Nama Keadilan"